Suara para pembina asrama yang sedang membangunkan para santri begitu menggema di gendang telinga kami subu ini, sekarang baru pukul 03.30 pagi, tapi kami sudah harus dibangunkan dan itu sudah menjadi kewajiban bagi kami. Dengan kedua mata yang masi berat untuk dibuka sepagi ini kami melangkahkan kaki menuju sumur yang berada dibelakang maskan (Asrama), bersyukurlah untuk santri yang memiliki timba sendiri, karna mereka bisa segera menyegarkan wajah mengantuk mereka dan mengambil air wudhu lebih cepat dari pada santri yang tidak memiliki timba, dan itu terjadi pada kami, udara dingin alami yang berhembus dengan begitu lembut membuat bulu kuduk kami berdiri saat merasakan betapa dinginnya air sumur ini, ditambah lagi dengan suasana gelap horror dan hanya ada satu cahaya yang menerangi lokasi sumur ini, membuat cerita-cerita horror yang pernah ada di ma’had ini terasa nyata, tapi suasana itu akan hilang saat suara percikan air yang jatuh ketanah bekas pengambilan air wudhu mereka terdengar.
Saat kami telah selesai menjalankan sholat shubu, dibawah sinar lampu dan rembulan serta angin dingin yang berhembus begitu lembut, kami duduk di lapangan Ma’had sambil menerima materi mufrodat (kosakata bahasa Arab). dalam penerimaan materi ini kami dibagi perkelompok lebih tepatnya perkelas, jadi, disetiap sudut ma’had pasti ada suara-suara pengulangan mufrodat dari para kakak pembina, terkadang para kakak Pembina menggunakan metode games dalam penerimaan materi dengan tujuan mempermudah kami mengingatnya.
Suasana yang paling kami rindukan saat menjadi santri adalah suasana tepat pukul 05.30 dimana suara burung yang dengan merdunya memanjakan gendang telinga kami, dinginnya embun pagi yang sedang menyambut hari baru kami serta para santri wanita yang berlalu lalang dengan menggunakan babydol sambil membawa keranjang yang berisi alat mandi mereka dengan tujuan antri mandi, demi merasakan suasana pagi itu kami sering duduk ditumpukan batu bata yang terletak tepat didepan asrama kami, ditemani susu coklat panas yang kami seduh saat pembelajaran mufrodat selesai. Tepat pukul 06.00 maka muncullah tante penjual bubur kacang ijo yang sudah menjadi langganan kami dipagi hari, ia sering duduk dipintu asrama satu dengan jumbo sedangnya dan tas keranjang berisi gelas dan sendok, sebenarnya bubur kacang ijonya tidak seenak bubur kacang ijo buatan rumah, tapi saat kami menjadi santri entah kenapa bubur kacang ijo itu terasa begitu enak diindera perasa kami, terlebih saat panasnya bubur kacang ijo dan manisnya gula merah yang bercampur santan serta empuknya kacang ijo yang dicampur dengan nasi masuk kerongga mulut kita tepat saat suasana berembun.
Disaat kegiatan pebelajaran di sekolah selesai maka dapur asrama putri akan begitu ramai dengan pengambilan makan siang, ditambah lagi dengan berbagai bau yang telah bercampur aduk bagaikan gado-gado di ruangan itu membuat kami harus menunda pengambilan makan siang kami dengan resiko jata makan siang kami yang tidak akan lengkap lagi, kadang yang tersisa hanyalah nasi dan sayur terkadang nasi dan ikan goreng rica bahkan terkadang hanya tersisa nasi saja, membuat kami harus mengelus dada sambil berkata nasip mengambil makan siang paling akhir, dan itu membuat kami tertawa dengan kesalahan kami.
Suara mendidih minyak goreng dan bau dari gorengan disore hari selalu menarik perhatian kami, membuat kami harus patungan demi gorengan itu walaupun uang disaku kami mulai menipis, setiap sore tante yang sudah lama menetap diarea ma’had ini selalu menjual gorengan, dan rasanya itu enak, kriuk gorengannya yang begitu renyah ditambah dengan pelengkap rica goreng sagela. Kami selalu menyantap gorengan itu diatas tumpukan batu bata yang sering kami tempati dipagi hari, selain gorengan ada juga penjual bakso pangsit, kami sering melengkapi sore hari kami dengan bakso pangsit, dengan kuahnya yang kami buat terasa sedikit asam dilengkapi dengan rica yang membuat rasa kuah bakso pangsit itu terasa begitu nikmat dileher, tapi kegiatan menikmati sore hari akan berakhir disaat kami yang akan membersihkan diri untuk Sholat magrib nanti, nah saat menunggu sholat magrib tiba dimesjid, kami akan belajar terjemahan isi Al-Qur’an yang dipandu oleh uastad kami sendiri.
Menjadi santri di Pondok pesantren tidak selamanya alim, buktinya disaat rasa malas kemesjid menghampiri, kami sering bersembunyi di dalam lemari kami masing-masing untuk menghindari para mudabirot (organisasi pondok) yang memeriksa setiap asrama, jika kami ketahuan maka kami akan mendapat hukuman dari ustad, di dalam ruangan yang gelap dan pengap kami bisa mendenggar suara para mudabirot yang datang memeriksa asrama, dan itu membuat degub jantung kami terasa begitu cepat, saat suara langkah kaki itu mulai mendekat kearah lemari maka semakin kencang pula detak jantung kami ditambah dengan keringat bercampur dingin, suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat, ketika pintu lemari kami terbuka maka dengan segera kami memasang jurus lari dengan tingkat speed untuk menghindari para mudabirot sehingga terjadilah kejar-kejaran antara kami dan mudabirot, entah apa tujuannya kami menjadi kejar-kejaran padahal kami sudah ketahuan dan akan tetap mendapatkan hukuman dari ustad tapi kami terus berlari, semakin dekat suara para mudabirot yang memanggil nama kami maka semakin kencang pula lari kami dan akan berhenti saat suara mudabirot itu tidak terdenggar lagi selanjutnya kami akan tertawa terbahak-bahak mengingat betapa konyolnya kelakuan kami.
Dibawah sinaran rembulan dan indahnya bintang-bintang dimalam Jum’at kami duduk dilapangan ma’had, malam jum’at telah menjadi jadwal kami melakukan sebuah acara sederhana, dengan tujuan mengurangi rasa rindu pada keluarga. berbagai hiasan yang ada dipanggung membuat panggung sederhna itu terlihat indah ditambah dengan terangnya lampu panggung membuat acara ini terasa seperti acara internasioanl ala pondok. kami duduk dibarisan paling depan karna drama komedi yang berseri berjudul hadonge yang dimainkan oleh para kakak senior akan tampil, drama ini siap untuk mengocok perut kami, terlebih saat sang pemeren utama si hadonge yang memiliki perut buncit, bokong yang besar, bibir yang memble muncul dengan pedenya dihadapan kami sambil berkata kita ganteng to… dengan gayanya membuat tawa kami pecah dimalam itu sehingga tujuan acara ini mulai dirasakan.
Menjadi seorang santri kami bisa menumbuhkan bakat-bakat kami yang tersembunyi, dan kami bisa merasakan suasana kebersamaan dalam waktu 24 jam, dengan kebersamaan itu kami sering melupakkan suasan rumah, bahkan kami sering melupakan hari perpulangan, karna menjadi santri itu menyenangkan dimana keseharian kami diisi dengan tawa dan canda teman-teman dalam waktu 24 jam.
Jangan sampai anak cucu kita tidak merasakan nikmat yang satu ini “Nyantri”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar